Selasa, 25 Oktober 2011

Tenaga Kerja Indonesia



Istilah moratorium TKI sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Moratorium atau dalam arti penghentian sementara TKI sudah ada sejak kasus TKI yang disiksa majikannya di Saudi Arabia, yakni Sumiati. Lagi-lagi inilah yang terjadi setelah kasus Sumiati terpendam, istilah monatorium hilang ditelan bumi dan tak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah. Kesan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang mudah melupakan sesuatu adalah benar adanya.
Moratorium TKI itu penting dan sangat penting. Bahkan moratorium TKI itu akan mengangkat derajat bangsa Indonesia yang saat ini sangat terkenal dalam mengirim pembantu rumah tangga (PRT) ke Saudi Arabia.
Parahnya, dalam pengiriman PRT itu, terkadang tidak terseleksi dengan baik. Dimana, ada saja TKI yang dipalsukan dokumennya, misalnya adalah pengurangan umur TKI maupun penambahan umur TKI, bahkan ada pula TKI yang tidak mampu membaca (buta huruf). Ini kan menambah permasalahan. Sebab, semestinya TKI itu wajib mengetahui bahasanya, mempunyai keterampilan dan yang penting adalah budaya negara setempat.
Nah, moratorium itu bisa basi apabila itu hanya menjadi statement politik dari pemerintah saja, tanpa ada implementasi di lapangan. Baru-baru ini saja Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, belum ada perkembangan yang signifikan mengenai pendampingan hukum ataupun pembebasan terhadap 23 TKI yang terancam divonis hukuman mati di Saudi Arabia. Lalu langkah strategis apa yang perlu dilakukan. Ini yang jadi tanda tanya?
Lalu bagaimana dengan dipancungnya Ruyati di Arab Saudi. Bagaimana ini sampai tidak diketahuinya oleh negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, KBRI Untuk Saudi Arabia, Kementerian Luar Negeri dan juga Kemenakertrans.
Faktanya inilah yang terjadi, Ruyati telah dipenggal kepalanya oleh sang algojo dan jenazahnya kini sangat sulit untuk dibawa ke Indonesia. Sebab dalam aturan di Saudi Arabia siapapun yang di pancung di Saudi Arabia, maka pemakamannya ada di Saudi juga. http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/06/18/tkw-dipancung-hingga-tewas-di-arab-saudi/
Bagaimanakah kita bisa kecolongan dan tidak diinfomasikan tentang vonis Ruyati. Apa sebabnya? Yang pasti itu tidak lepas dari lemahnya sistem hubungan internasional negara kita dan lemah pula tingkat lobi diplomat di Indonesia. Para diplomat di Indonesia agaknya sungkan untuk menjelaskan tentang suatu permasalahan dan informasi buruk tentang keadaan TKI yang akan dan siap dihukum mati di Malaysia maupun dipancung di Saudi Arabia. Nyatanya, ada sekitar 23 TKI yang akan segera di eksekusi di Saudi Arabia, dan ratusan lebih di Malaysia yang akan dihukum mati.
Bahkan secara terang-terang Menteri Luar Negeri Marty Natanegala mengatakan dari tahun 1999-sekarang terdapat 303 TKI yang terancam hukuman mati. Itupun setelah rapat dengar pendapat di DPR dan menjawab dengan keterpaksaan, dan juga setelah heboh dipancungnya Ruyati. Anehnya Kementerian Luar Negeri menyatakan telah berusaha maksimal dalam mendampingi dan memberikan perlindungan hukum kepada para TKI. Ini butuh bukti!
Yang jadi pertanyaan. Apakah eksekusi mati bisa dibatalkan di Saudi Arabia. Bisa. Itu bisa dilakukan bila keluarga korban telah memaafkan pelaku pembunuhan, dan pihak pelaku pembunuhan harus membayar ganti rugi dalam bentuk materi (uang). Itu pulalah yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk membebaskan hukuman pancung bagi Darsem, TKI asal Subang, Jawa Barat yang telah dimaafkan oleh pihak keluarga korban dan pemerintah harus membantu membebaskan hukuman mati Darsem dengan menyiapkan uang sekitar Rp 4,7 miliar. Yang katanya uang tersebut sudah diterima KBRI Untuk Saudi Arabia di Riyad.
Eksekusi mati seharusnya dapat dihindari karena almarhumah membunuh majikannya, Khoiriyah, dalam rangka membela diri.
Ada empat hal yang dapat dilakukukan pemerintah agar terpidana dapat terhindar kasus hukuman mati.
Pertama, secara kekeluargaan, meskinya ada pendekatan intensif oleh KBRI di Saudi Arabia kepada keluarga korban agar mendapatkan maaf. Kedua, pemerintah seharusnya merekrut pengacara andal untuk membela TKI yang terancam hukuman mati dan melakukan pendampingan hukum. Ketiga, pemerintah harus melakukan diplomasi tingkat tinggi dengan Raja Saudi Arabia. Sebab, di Saudi Arabia titah raja adalah hukum. Keempat, pemerintah harus dapat menyiapkan pembayaran diyat atau uang kompensasi sebagai pengganti hukuman mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar