Istilah moratorium TKI sebenarnya bukan sesuatu
yang baru di Indonesia. Moratorium atau dalam arti penghentian
sementara TKI sudah ada sejak kasus TKI yang disiksa majikannya di Saudi
Arabia, yakni Sumiati. Lagi-lagi inilah yang terjadi setelah kasus
Sumiati terpendam, istilah monatorium hilang ditelan bumi dan tak pernah
ditindaklanjuti oleh pemerintah. Kesan bahwa bangsa ini adalah bangsa
yang mudah melupakan sesuatu adalah benar adanya.
Moratorium TKI itu penting dan sangat penting.
Bahkan moratorium TKI itu akan mengangkat derajat bangsa Indonesia yang
saat ini sangat terkenal dalam mengirim pembantu rumah tangga (PRT) ke
Saudi Arabia.
Parahnya, dalam pengiriman PRT itu, terkadang tidak
terseleksi dengan baik. Dimana, ada saja TKI yang dipalsukan
dokumennya, misalnya adalah pengurangan umur TKI maupun penambahan umur
TKI, bahkan ada pula TKI yang tidak mampu membaca (buta huruf). Ini kan
menambah permasalahan. Sebab, semestinya TKI itu wajib mengetahui
bahasanya, mempunyai keterampilan dan yang penting adalah budaya negara
setempat.
Nah, moratorium itu bisa basi apabila itu hanya
menjadi statement politik dari pemerintah saja, tanpa ada implementasi
di lapangan. Baru-baru ini saja Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar
mengatakan, belum ada perkembangan yang signifikan mengenai pendampingan
hukum ataupun pembebasan terhadap 23 TKI yang terancam divonis hukuman
mati di Saudi Arabia. Lalu langkah strategis apa yang perlu dilakukan.
Ini yang jadi tanda tanya?
Lalu bagaimana dengan dipancungnya Ruyati di Arab
Saudi. Bagaimana ini sampai tidak diketahuinya oleh negara, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, KBRI Untuk Saudi Arabia, Kementerian Luar
Negeri dan juga Kemenakertrans.
Faktanya inilah yang terjadi, Ruyati telah
dipenggal kepalanya oleh sang algojo dan jenazahnya kini sangat sulit
untuk dibawa ke Indonesia. Sebab dalam aturan di Saudi Arabia siapapun
yang di pancung di Saudi Arabia, maka pemakamannya ada di Saudi juga. http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/06/18/tkw-dipancung-hingga-tewas-di-arab-saudi/
Bagaimanakah kita bisa kecolongan dan tidak
diinfomasikan tentang vonis Ruyati. Apa sebabnya? Yang pasti itu tidak
lepas dari lemahnya sistem hubungan internasional negara kita dan lemah
pula tingkat lobi diplomat di Indonesia. Para diplomat di Indonesia
agaknya sungkan untuk menjelaskan tentang suatu permasalahan dan
informasi buruk tentang keadaan TKI yang akan dan siap dihukum mati di
Malaysia maupun dipancung di Saudi Arabia. Nyatanya, ada sekitar 23 TKI
yang akan segera di eksekusi di Saudi Arabia, dan ratusan lebih di
Malaysia yang akan dihukum mati.
Bahkan secara terang-terang Menteri Luar Negeri
Marty Natanegala mengatakan dari tahun 1999-sekarang terdapat 303 TKI
yang terancam hukuman mati. Itupun setelah rapat dengar pendapat di DPR
dan menjawab dengan keterpaksaan, dan juga setelah heboh dipancungnya
Ruyati. Anehnya Kementerian Luar Negeri menyatakan telah berusaha
maksimal dalam mendampingi dan memberikan perlindungan hukum kepada para
TKI. Ini butuh bukti!
Yang jadi pertanyaan. Apakah eksekusi mati bisa
dibatalkan di Saudi Arabia. Bisa. Itu bisa dilakukan bila keluarga
korban telah memaafkan pelaku pembunuhan, dan pihak pelaku pembunuhan
harus membayar ganti rugi dalam bentuk materi (uang). Itu pulalah yang
dilakukan pemerintah Indonesia untuk membebaskan hukuman pancung bagi
Darsem, TKI asal Subang, Jawa Barat yang telah dimaafkan oleh pihak
keluarga korban dan pemerintah harus membantu membebaskan hukuman mati
Darsem dengan menyiapkan uang sekitar Rp 4,7 miliar. Yang katanya uang
tersebut sudah diterima KBRI Untuk Saudi Arabia di Riyad.
Eksekusi mati seharusnya dapat dihindari karena almarhumah membunuh majikannya, Khoiriyah, dalam rangka membela diri.
Ada empat hal yang dapat dilakukukan pemerintah agar terpidana dapat terhindar kasus hukuman mati.
Pertama, secara kekeluargaan, meskinya ada
pendekatan intensif oleh KBRI di Saudi Arabia kepada keluarga korban
agar mendapatkan maaf. Kedua, pemerintah seharusnya merekrut pengacara
andal untuk membela TKI yang terancam hukuman mati dan melakukan
pendampingan hukum. Ketiga, pemerintah harus melakukan diplomasi tingkat
tinggi dengan Raja Saudi Arabia. Sebab, di Saudi Arabia titah raja
adalah hukum. Keempat, pemerintah harus dapat menyiapkan pembayaran diyat atau uang kompensasi sebagai pengganti hukuman mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar