BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Liberalisme
adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, baik dalam
kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan. Paham liberalisme muncul karena
kekuasaan raja sangat mutlak atau absolut yaitu tidak memberikan kebebasan pada
rakyatnya. Pada masa itu dalam kegiatan ekonomi berkembang paham
merkhantilisme, yaitu segala kegiatan ekonomi dan perdagangan harus memberikan
keuntungan yang besar pada kerajaan. Hal ini menimbulkan reaksi yaitu munculnya
gerakan liberalime di bidang ekonomi, gerakan tersebut akhirnya meningkat
menjadi gerakan politik yang meletus lewat Revolusi Perancis 1978. Melalui
kekuasaan Napoleon I, faham liberal disebarkan ke negara Eropa melalui semboyan
“ Liberty, Egality, Fraternity “/ Kebebasan, Persamaan , Persaudaraan.
B. Tujuan Penulisan
1) Tujuan empirik
a) Untuk
melatih diri mengembangkan cara berfikir ilmiah
b) Untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
mata kuliah Sejarah Politik yang di ampu oleh Dra. Elis
Setiawati, M. Pd.
c) Untuk melatih diri membiasakan menulis karya
tulis ilmiah
2)
Tujuan teoritik
a) Mengembangkan wawasan berfikir
b) Mengkaji,menganalisis dan menyimpulkan
sumber-sumber lainnya yang membahas tentang Sejarah Politik
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Sistem politik liberalisme
Sistem politik liberalisme sangat menekankan kebebasan atau
kemerdekaan individu sesuai dengan arti liberalisme itu sendiri yang berasal
dari kata libre yang berarti bebas daripada perbudakan, perkosaan dan
penganiayaan. Sistem politik liberalisme saangat menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia yang utama, yaitu hak hidup, hak mengejar kebahagiaan, dan hak
kemerdekaan, dimana di dalamnya terdapat pula hak berbicara, hak untuk
mengemukakan pendapat, hak untuk beragama ataupun membawa pemikiran-pemikiran
sendiri tentang
konsep Tuhan dan agama.
Liberalisme sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, maka
didalam sistem pemerintahannya selalu mengadakan pembagian kekuasaan, yaitu
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini sebagi reaksi keras
terhadap absolutisme mengingat didalam sistem politik absolutisme, hak-hak
asasi manusia selalu diperkosa atau manusia-manusia itu selalu diperbudak.
Itulah sebabnya dalam Revolusi Prancis sebagai reaksi keras terhadap
pemerintahan absolut daripada Raja Louis XVI mengumandangkan suara-suara yang
cukup menggetarkan seluruh dunia, yaitu Liberte, Egalite, dan
Fraternite.
Sistem politik liberalisme menganggap bahwa sistem politik yang paling
tepat untuk suatu negara agar hak-hak asasi manusia itu terlindungi ialah
sistem demokrasi. Itulah sebabnya, sebagai contoh, Amerika Serikat menentukan
garis kebijaksanan didalam memberikan bantuan terhadp negara-negara yang sedang
berkembang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia, pemerintah negara-negara di
dunia harus menggunakan sistem demokrasi.
Sistem politik liberalisme karena menekankan terhadap perlindungan
hak-hak asasi manusia, maka infrastruktur/ struktur masyarakat/ struktur sosial
selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi dan tumbangnya sistem
kediktatoran.
1.2 Ciri-ciri Sistem Politik
Liberalisme
Sistem
politik liberalisme memiliki beberapa ciri, yaitu:
1.
Sangat
menekankan kebebasan/kemerdekaan individu.
2.
Sangat
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia yang utama seperti hak hidup, hak
kemerdekaan, hak mengejar kebahagiaan, dan lain-lain.
3.
Dalam
sistem pemerintahan, terbagi atas beberapa kekuasaan, yaitu kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
4.
Menganggap
sistem demokrasi sebagai sistem politik yang paling tepat untuk suatu negara
karena hak-hak asasi manusia itu terlindungi.
5.
Infra
struktur/struktur sosial selalu berusaha untuk mewujudkan tegaknya demokrasi
dan tumbangnya sistem kediktatoran.
6.
Adanya
homo seksual dan lesbianisme yang disebabkan penekanan kepada kebebasan
individu.
7.
Melahirkan
sekularisme, yaitu paham yang memisahkan antara negara dengan agama.
Menurut pemahaman mereka, agama adalah urusan masyarakat sedangakan negara
adalah urusan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh turut campur
dalam hal agama.
8.
Menentang
ajaran komunisme yang menganut sistem kediktatoran sehingga hak-hak asasi
manusia banyak dirampas dan diperkosa.
9.
Melahirkan
kelas ekonomi yang terdiri dari kelas ekonomi kuat dan lemah. Saat ini sedang
diusahakan dalam Sistem politik liberalisme modern untuk menghilangkan jurang
pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin.
10.
Berusaha
dengan keras untuk mewujudkan kesejahteraan terhadap seluruh anggota masyarakat
atau seluruh warga negara. Mengingat penderitaan dan kesengsaraan dapat
menyebabkan perbuatan-perbuatan yang bertentang dengan konstitusi negara.
11.
Adanya
budaya yang tinggi dengan menjungjung tinggi kreatifitas, produktifitas,
efektifitas, dan inovasitas warga negaranya.
12.
Mengusahakan
di dalam negaranya suatu pemilihan umum yang berasas luber sehingga pergantian
pemerintahan berjalan secara normal.
13.
Menentang
sistem politik kediktatoran karena meniadakan Hak Asasi Manusia.
1.3 Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni
Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).Dibawah ini,
adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme :
- Kesempatan
yang sama. Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala
bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda,
sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan
tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal
ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
- Dengan
adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai
hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap
penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik,
sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan
dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan
egoisme individu. Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang
diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri,
tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.
- Berjalannya
hukum. Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat.
Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh
peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan
mempertahankannya. Maka untuk menciptakan, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
- Yang
menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Negara hanyalah alat. Negara
itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih
besar dibandingkan negara itu sendiri.Di dalam ajaran Liberal Klasik,
ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya
sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha
yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
- Dalam
liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatism. Hal ini disebabkan
karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah
berubah
1.4 Dua Masa Liberalisme
Liberalisme
adalah sebuah
ideologi
yang mengagungkan kebebasan. Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme
Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16.
Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan
berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu
saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai
dari Liberalisme Klasik itu masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah
hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata
lain, nilai intinya
(core values) tidak berubah hanya ada
tambahan-tanbahan saja dalam
versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa
Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.
Dalam
Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.
Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan
menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi
(politik)
dan kapitalisme (ekonomi).
Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah
kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus
dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi
ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
1.5 Pemikiran Tokoh Klasik dalam
Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh yang
memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal maupun
sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan
yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
Gerakan
Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan
penguasa Jerman terhadap kekuasaan
imperium
Katolik Roma.
Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kebebasan,
yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta
dominasi
gereja. Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang
dari otoritasnya semula. Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak
boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan
ilmu pengetahuan sekalipun. Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak –
misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi
agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan
manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya
timbul sebuah
reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan
dari para individu yang tadinya “terkekang”.
John Locke
dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh
ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan
konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of
Nature. Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran
yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika ditinjau dari awal,
konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda.
Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu
pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin
hidup damai.
Oleh karena
itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang
terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu
lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). Sedangkan
John Locke
(1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada
State of Nature adalah
baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir
jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat
perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada
syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’.
Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga
(Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute
sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak dari
kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran
mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya Negara,
menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun
baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. Sedangkan
Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga
kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya
bertindak sebagai penetralisasi konflik
Para ahli
ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar
sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan
yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan
politik bersumber pada
falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan
seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah
Adam Smith
(1723-1790).
Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh
Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama,
haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua,
perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan
kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga,
pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke
arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi
seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai
individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
1.6 Demokrasi Liberal
Liberalisme dan demokrasi, adalah dua hal yang sering
disandingkan. Persandingan antara liberalisme dan demokrasi tersebut kemudian
lebih dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Demokrasi liberal tersebut
kemudian disebutkan oleh Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal "the End
of History" sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah
hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional.
Kemudian, dalam tulisannya yang berjudul "Democracy,
the Nation-State, and the Global System", David Held menyebutkan bahwa
demokrasi liberal memsusatkan perhatian pada "kesimetrisan" dan
"ke-kongruen-an" hubungan antara pengambil keputusan politik dan
penerima keputusan politik. Pada abad 20, teori demokrasi telah berfokus pada
konteks organisasi dan budaya dari prosedur demokrasi serta dampak dari konteks
tersebut pada operasi dari "aturan mayoritas" atau "majority
rule".
Namun, tak dapat dihindari bahwa terdapat pertentangan
mendasar dalam demokrasi liberal itu sendiri. Dalam hal ini, pertentangan
antara prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi dan liberalisme sebagai dua hal
yang menjadi dasar dari demokrasi liberal. Konflik antara liberalisme dan
demokrasi yang terjadi kemudian menimbulkan banyak kritik dari berbagai pemikir
dan akademisi. Liberalisme mempunyai mimpi bahwa kesejahteraan manusia dapat
diraih dengan kebebasan individu-individu untuk hidup termasuk kebebasan dalam
berusaha.
Liberalisme yang sangat menekankan dan mengedepankan
kepemilikan individu tersebut pada akhirnya mengabaikan nilai atau prinsip
demokrasi yang menekankan equality atau kesetaraan. Prinsip mayoritas
yang juga dianut dalam demokrasi pada akhirnya juga terabaikan ketika ekonomi
dan politik hanya dikuasai oleh sekelompok minoritas yang memiliki akses
terhadap kepemilikan individu. Penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa
demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana
kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri
mereka sendiri.
Liberalisme menekankan kebebasan. Kebebasan yang dicari
manusia sendiri berbeda-beda dan tergantung pada kondisi sosial dan ekonomi
yang ada di sekitar mereka. Namun, kaum minoritas yang memiliki hal (kebebasan)
tersebut telah mendapatkannya dengan mengeksploitasi sebagian besar yang tidak
mendapatkan hal tersebut. Mereka percaya bahwa kebebasan individu adalah sebuah
tujuan akhir bagi manusia dan tidak ada yang seharusnya dapat dikurangi dari
hal tersebut oleh yang lainnya; paling tidak bahwa beberapa harus menikmatinya
dengan biaya orang lain.
Para filsuf seperti Locke, Adam Smith, dan dalam beberapa
hal, Mill, dengan optimis melihat asal-usul manusia dan memiliki sebuah
kepercayaan mengenai kemungkinan dalam mengharmonisasikan
kepentingan-kepentingan manusia. Dalam hal ini misalnya mempercayai bahwa
keharmonisan sosial dan kemajuan dapat disesuaikan dengan pesan yang luas bagi
kehidupan privat melebihi negara ataupun otoritas lainnya.
Dalam hal ini, filsuf seperti Mill sangat mementingkan
perlindungan bagi kebebasan individual. Dalam essay-nya yang terkenal, Mill
menyatakan bahwa kecuali orang yang tersisa untuk hidup seperti yang mereka
inginkan "di jalan mereka sendiri", peradaban tidak bisa maju; kebenaran
tidak akan, bagi kurangnya sebuah pasar bebas dalam ide-ide; tidak akan ada
lagi ruang untuk spontanitas, orijinalitas, kejeniusan, untuk keberanian moral.
Masyarakat akan ditabrak oleh sebuah "kolektif biasa" yang berat.
Namun, hubungan
antara demokrasi dan kebebasan individu adalah sebuah perjanjian baik yang
lebih lemah daripada yang sepertinya terlihat. Kebebasan dapat mengorbankan
kesetaraan. Hal ini adalah sebuah hal yang biasa dalam histiografi Marxis untuk
menekankan cara dalam praktek-praktek dari kebebasan borjuis dan sudut pandang
formal dari hak yang melindungi mereka baik yang menghasilkan maupun yang
menyembunyikan ketimpangan Kelas. Dalam Communist Manifesto, Marx dan
Engels menyatakan bahwa "Dengan kebebasan itu berarti, di bawah keadaan-keadaan
yang ditampilkan borjuis dari produksi, perdagangan bebas, penjualan dan
pembelian secara bebas." Analisis Tocqueville mengenai ancaman kesetaraan
dalam kebebasan, adalah bahwa kita harus juga "berjuang untuk mengurangi
dampak-dampak yang merugikan dalam demokrasi dan kesetaraan politik yang
dihasilkan ketika kebebasan ekonomi memproduksi ketimpangan yang besar dalam
pendistribusian sumber daya dan kemudian, secara langsung maupun tidak
langsung, kekuasaan.
Selain itu, dalam sudut pandang Marxisme, merujuk pada
pernyataan Leszek Kolakowski, "adalah sebuah mimpi menawarkan prospek
sebuah masyarakat dengan persatuan yang utuh, dimana aspirasi dari semua
manusia akan dipenuhi, dan dan semua nilai didamaikan; tapi konflik-konflik
yang pasti timbul diantara kebebasan dan kesetaraan, dan beberapa konflik dapat
"diatasi hanya dengan kompromi-kompromi dan solusi-solusi parsial. Kritik
yang paling sering diutarakan bagi demokrasi liberal memang berasal dari
perspektif pemikiran politik "Kiri" yang berfokus pada penciptaan
kesesuaian yang lebih besar antara representasi politik dan warga negara asli;
dalam kasus ini, melalui penambahan mekanisme akuntabilitas demokrasi.
Marx melihat keretakan antara publik dan privat, warga
negara dan borjuis, negara dan civil society sebagai dasar-dasar yang
krusial bagi filosofi liberal. Dalam essay-nya, On The Jewish Question,
Marx menyebutkan bahwa negara-negara liberal maju "menghapuskan"
perbedaan berdasarkan pada kelahiran, pendidikan, pekerjaan, tapi hanya dalam
rangka bahwa hal tersebut dideklarasikan oleh mereka sebagai sebuah hal yang
tidak relevan secara politik. Hal tersebut mengubah politik kepada pelayanan
yang egois dan hanya peduli pada materi.
Kritik lain terhadap demokrasi liberal diungkapkan oleh para
feminis, salah satunya oleh Anne Philips. Dalam bukunya, Engendering
Democracy, Phillips mengungkapkan bahwa sebagaimana kritik lainnnya,
demokrasi liberal mencerminkan sebuah jenis ketakutan politik. Dimulai dengan
antisipasi kecemasan dari apa yang mungkin dilakukan pemerintah, dan yang
kemudian menyusul sebagai perpanjangan hak-hak demokrasi dan hak pilih, yang
mengakhiri ketakutan masyarakat itu sendiri.
Demokrasi liberal
dirancang pada wilayah di luar kontrol pemerintahan dan terkadang secara formal
dengan mendirikan hak-hak individu dan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang
tertulis tapi lebih umum melalui pergeseran konvensi sejarah menjadi lebih dari
apa yang dapat dianggap sebagai sebuah perhatian publik. Dimana sprosedur
mengoperasikan negara akan dibatasi dan manjauh dari domain publik. Demokrasi
liberal membuat pemisahan antara ruang publik dan privat, atau pemisahan antara
sosial dan politik.
Batasan dari liberal yang diletakkan pada pemerintahan tidak
hanya dioperasikan untuk melindungi kebebasan-kebebasan individual. Mereka juga
mempertahankan ketidakadilan yang dapat membuat olok-olok bagi demokrasi itu
sendiri. Hak yang sama untuk memilih misalnya, tidak menjamin sebuah persamaan
yang dipengaruhi keputusan politik. Para feminis pun menawarkan hubungan yang
erat antara teori feminis dan demokrasi. Para pemikir dan akademisi lainnya pun
mencoba mencarikan solusi atas problema konflik antara liberalisme dan
demokrasi tersebut. Hal - hal yang hanya bersifat prosedural dalam demokrasi
liberal kemudian harus diisi dengan substansi dari demokrasi itu sendiri. Maka
kemudian, akademisi seperti Mouffe pun menawarkan apa yang disebut sebagai
demokrsi deliberativedengan penekanannya terhadap imparsialitas dan konsensus
nasional.
1.7
Ideologi Liberalisme
ü
keunggulan
ideologi liberalisme
- Menumbuhkan
inisiatif dan kreasi masyarkat dalam mengatur kegiatan ekonomi. Masyarakat
tidak perlu menunggu komando dari pemerintah.
- Setiap
individu bebas untuk memiliki sumber-sumber daya produksi. Hal ini
mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
- Timbul
persaingan untuk maju karena kegiatan ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada
masyarakat.
- Menghasilkan
barang-barang bermutu tinggi, karena barang yang kurang bermutu tidak akan
laku di pasar.
- Efisiensi
dan efektivitas tinggi karena setiap tindakan ekonomi didasarkan atas
motif mencari keuntungan
- Kontrol
sosial dalam sistem pers liberal berlaku secara bebas. Berita-berita
ataupun ulasan yang dibuat dalam media massa dapat mengandung
kritik-kritik tajam, baik ditujukan kepada perseorangan lembaga atau
pemerintah.
- Masyarakat
dapat memilih partai politik tanpa ada gangguan dari siapapun.
ü kelemahan ideologi liberalisme
- Sulit melakukan pemerataan
pendapatan. Karena persaingan bersifat bebas, pendapatan jatuh kepada
pemilik modal atau majikan. Sedangkan golongan pekerja hanya menerima
sebagian kecil dari pendapatan.
- Pemilik sumber daya produksi
mengeksploitasi golongan pekerja, sehingga yang kaya makin kaya, yang
miskin makin miskin.
- Sering muncul monopoli yang
merugikan masyarakat.
- Sering
terjadi gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi budaya oleh
individu yang sering terjadi
- Karena
penyelenggaran pers dilakukan oleh pihak swasta, pemerintah sulit untuk
mengadakan dan memberikan kontrol. Sehingga pers sebagai media komunikasi
dan media masa sangat efektif menciptakan image dimasyarakat sesuai misi
kepentingan mereka.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas
kiranya dapat di simpulkan bahwa Liberalisme
adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu, baik dalam
kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan. Paham liberalisme muncul karena
kekuasaan raja sangat mutlak atau absolut yaitu tidak memberikan kebebasan pada
rakyatnya.
Liberalisme sangat menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia, maka didalam sistem pemerintahannya selalu mengadakan pembagian
kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini sebagi
reaksi keras terhadap absolutisme mengingat didalam sistem politik absolutisme,
hak-hak asasi manusia selalu diperkosa atau manusia-manusia itu selalu
diperbudak.
Sistem politik liberalisme menganggap bahwa
sistem politik yang paling tepat untuk suatu negara agar hak-hak asasi manusia
itu terlindungi ialah sistem demokrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
(Drs. Sukarna. Sistem Politik 2 : PT. Citra
Aditya Bakti . Bandung. 1990)