Selasa, 25 Oktober 2011

Tenaga Kerja Indonesia



Istilah moratorium TKI sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Moratorium atau dalam arti penghentian sementara TKI sudah ada sejak kasus TKI yang disiksa majikannya di Saudi Arabia, yakni Sumiati. Lagi-lagi inilah yang terjadi setelah kasus Sumiati terpendam, istilah monatorium hilang ditelan bumi dan tak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah. Kesan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang mudah melupakan sesuatu adalah benar adanya.
Moratorium TKI itu penting dan sangat penting. Bahkan moratorium TKI itu akan mengangkat derajat bangsa Indonesia yang saat ini sangat terkenal dalam mengirim pembantu rumah tangga (PRT) ke Saudi Arabia.
Parahnya, dalam pengiriman PRT itu, terkadang tidak terseleksi dengan baik. Dimana, ada saja TKI yang dipalsukan dokumennya, misalnya adalah pengurangan umur TKI maupun penambahan umur TKI, bahkan ada pula TKI yang tidak mampu membaca (buta huruf). Ini kan menambah permasalahan. Sebab, semestinya TKI itu wajib mengetahui bahasanya, mempunyai keterampilan dan yang penting adalah budaya negara setempat.
Nah, moratorium itu bisa basi apabila itu hanya menjadi statement politik dari pemerintah saja, tanpa ada implementasi di lapangan. Baru-baru ini saja Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, belum ada perkembangan yang signifikan mengenai pendampingan hukum ataupun pembebasan terhadap 23 TKI yang terancam divonis hukuman mati di Saudi Arabia. Lalu langkah strategis apa yang perlu dilakukan. Ini yang jadi tanda tanya?
Lalu bagaimana dengan dipancungnya Ruyati di Arab Saudi. Bagaimana ini sampai tidak diketahuinya oleh negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, KBRI Untuk Saudi Arabia, Kementerian Luar Negeri dan juga Kemenakertrans.
Faktanya inilah yang terjadi, Ruyati telah dipenggal kepalanya oleh sang algojo dan jenazahnya kini sangat sulit untuk dibawa ke Indonesia. Sebab dalam aturan di Saudi Arabia siapapun yang di pancung di Saudi Arabia, maka pemakamannya ada di Saudi juga. http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/06/18/tkw-dipancung-hingga-tewas-di-arab-saudi/
Bagaimanakah kita bisa kecolongan dan tidak diinfomasikan tentang vonis Ruyati. Apa sebabnya? Yang pasti itu tidak lepas dari lemahnya sistem hubungan internasional negara kita dan lemah pula tingkat lobi diplomat di Indonesia. Para diplomat di Indonesia agaknya sungkan untuk menjelaskan tentang suatu permasalahan dan informasi buruk tentang keadaan TKI yang akan dan siap dihukum mati di Malaysia maupun dipancung di Saudi Arabia. Nyatanya, ada sekitar 23 TKI yang akan segera di eksekusi di Saudi Arabia, dan ratusan lebih di Malaysia yang akan dihukum mati.
Bahkan secara terang-terang Menteri Luar Negeri Marty Natanegala mengatakan dari tahun 1999-sekarang terdapat 303 TKI yang terancam hukuman mati. Itupun setelah rapat dengar pendapat di DPR dan menjawab dengan keterpaksaan, dan juga setelah heboh dipancungnya Ruyati. Anehnya Kementerian Luar Negeri menyatakan telah berusaha maksimal dalam mendampingi dan memberikan perlindungan hukum kepada para TKI. Ini butuh bukti!
Yang jadi pertanyaan. Apakah eksekusi mati bisa dibatalkan di Saudi Arabia. Bisa. Itu bisa dilakukan bila keluarga korban telah memaafkan pelaku pembunuhan, dan pihak pelaku pembunuhan harus membayar ganti rugi dalam bentuk materi (uang). Itu pulalah yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk membebaskan hukuman pancung bagi Darsem, TKI asal Subang, Jawa Barat yang telah dimaafkan oleh pihak keluarga korban dan pemerintah harus membantu membebaskan hukuman mati Darsem dengan menyiapkan uang sekitar Rp 4,7 miliar. Yang katanya uang tersebut sudah diterima KBRI Untuk Saudi Arabia di Riyad.
Eksekusi mati seharusnya dapat dihindari karena almarhumah membunuh majikannya, Khoiriyah, dalam rangka membela diri.
Ada empat hal yang dapat dilakukukan pemerintah agar terpidana dapat terhindar kasus hukuman mati.
Pertama, secara kekeluargaan, meskinya ada pendekatan intensif oleh KBRI di Saudi Arabia kepada keluarga korban agar mendapatkan maaf. Kedua, pemerintah seharusnya merekrut pengacara andal untuk membela TKI yang terancam hukuman mati dan melakukan pendampingan hukum. Ketiga, pemerintah harus melakukan diplomasi tingkat tinggi dengan Raja Saudi Arabia. Sebab, di Saudi Arabia titah raja adalah hukum. Keempat, pemerintah harus dapat menyiapkan pembayaran diyat atau uang kompensasi sebagai pengganti hukuman mati.

MULTI PARTAI

Secara umum bahwa pembatasan partai politik merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi bangsa kita. Alasannya tidak lain sistem multipartai tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial dan acapkali menimbulkan ekses buruk terhadap pemerintahan. Dengan demikian, pembatasan partai politik sebagai suatu program yang harus segera diimplementasikan. Hal ini mutlak dipenuhi agar sistem presidensial kita menjadi lebih sehat sehingga rakyat tidak lagi terombang – ambing dalam ketidakpastian iklim politik yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat.

Persoalan yang timbul akhir – akhir ini adalah adanya sebuah wacana yang menyatakan bahwa pemerintah memiliki rencana untuk melakukan pembatasan partai politik. Isu ini pun menuai banyak reaksi di masyarakat, khususnya di kalangan cendekiawan dan pakar – pakar lainnya. Beberapa di antaranya ada yang menyetujui rencana tersebut, sedangkan di sisi lainnya menolak dengan keras wacana tersebut. Alasan keduanya pun berbeda – beda dan secara umum cukup masuk di akal.

Alasan pihak yang menyetujui rencana tersebut berpendapat bahwa pembatasan partai politik lebih mampu menciptakan kestabilan di dalam pemerintahan. Banyak partai-partai baru tampil hanya sebagai wujud ikut memeriahkan pesta demokrasi tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan tidak banyaknya kemanfaatan yang bisa diperoleh dari kehadiran partai-partai tersebut selain malah menciptakan ketidakteraturan dalam pemerintahan. Misal, koalisi yang menjadi tempat berbaurnya kepentingan -kepentingan politik di parlemen yang menyebabkan terhambatnya kinerja parlemen dalam melakukan fungsinya. Akibatnya, ketidakefektifan parlemen menjadikan lembaga legislatif tersebut tidak lagi mengakomodir kepentingan masyarakat sehingga pemerintahan menjadi tidak stabil dan cenderung terabaikan. Hal ini yang menjadi alasan bagi pihak yang menyetujui rencana tersebut.

Di sisi lain, pihak yang menolak juga tidak kekurangan alasan. Pertama, kaitannya dengan HAM dan demokrasi. Dengan adanya pembatasan partai tersebut, maka negara dalam hal ini telah melanggar aturannya sendiri dan hal ini jelas tidak dapat dibenarkan. HAM menjadi terlanggar dan demokrasi tidak lagi sebagaimana diisyarakatkan. Kedua, pembatasan partai politik sebagai suatu feetback.

Sistem kepartaian multipartai di dalam suatu sistem pemerintahan, terutama presidensial jelas – jelas kurang sesuai, menyebabkan kegoncangan-kegoncangan akibat friksi-friksi politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Baik di pusat maupun di daerah. Friksi-friksi ini terjadi akibat kepentingan politik yang bias antara kepentingan politik pribadi, golongan dan kepentingan politik yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Hal ini dikacaukan lagi dengan jumlah partai politik yang secara organisasi memiliki kepentingan – kepentingan tertentu.

Secara umum bahwa pembatasan partai politik merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi bangsa kita. Alasannya tidak lain sistem multipartai tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial dan acapkali menimbulkan ekses buruk terhadap pemerintahan. Dengan demikian, pembatasan partai politik sebagai suatu program yang harus segera diimplementasikan. Hal ini mutlak dipenuhi agar sistem presidensial kita menjadi lebih sehat sehingga rakyat tidak lagi terombang – ambing dalam ketidakpastian iklim politik yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Teori Behavioristik dan landasan Filosofisnya


BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Dalam makalah ini yaitu membahas tentang Teori Belajar menurut Aliran Behavioristik dan Landasan Filosofisnya,sebagai kajian mata kuliah Belajar dan Pembelajaran. Dalam dunia pendidikan, teori dan praktik pendidikan dipengaruhi oleh aliran filsafat pendidikan. Beberapa aliran filsafat pendidikan yang dapat diaplikasikan dalam sistem pembelajaran adalah teori behavioristik, teori kognitif, dan teori konstruktivisme. Dua aliran filsafat pendidikan yang memengaruhi arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dewasa ini adalah aliran behavioristik dan kognitif-konstruktivistik. aliran behavioristik menekankan terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar, sedangkan aliran kognitif-konstruktivistik lebih menekankan pembentukan perilaku internal yang sangat memengaruhi perilaku yang tampak itu.
Oleh karenanya, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran kelompok  kami menyusun makalah Tepri Belajar menrut Aliran Behavioristik dan Landasan filosofisnya yang juga dilatar belakangi oleh rasa ingin tahu kami yang ingin mengetahui lebih lanjut lagi tentang Teori Behavioristik.








BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Belajar Behavioristik
            Teori Belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Teori Behavioristik merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.  Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah segala hal yang diberikan oleh guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan tingkah laku tersebut terjadi atau tidak.
2.2 Teori Belajar yang Berpijak pada Pandangan Behaviorisme
 Behaviarisme merupaka salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu baik, verbal maupun non verbal yang dapat diobservasi secara langsung dengan menggunakan metode pelatihan, pembiasaan dan pengalaman. Pandangan ini menekankan bahwa perilaku harus dapat dijelaskan dengan pengalaman-penglaman yang  terobservasi , bukan oleh proses mental. Jadi, beristiwa belajar berarti untuk melatih reflex-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasan yang dikuasai individu. Teori ini tidak menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon, hal ini tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus-respon,mendudukan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Teori behaviorisme sering kali tidak dapat menjelaskan situasi belajar yang kompleks,padahal banyak variable atau hal-hal yang berkaitan denga belajar yang tidak hanya sekedar hubungan stimulus dan respon. Ciri teori ini mengutamakan unsure-unsur dan bagian kecil,bersifat mekanistik,menekankankan peranan lingkungan,mementingkan pembentukan reaksi atau respon,menekakan pentingnya latihan,mementingan mekanisme  hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.Teori belajar behaviorisme ini lebih menekankan pada tingkah laku manusia dan memandang individu sebagai makhluk reatif yang memberi respon terhadap lingkungan.pengalaman dan latihan akan membentuk perilaku mereka.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behaviorisme adalah factor penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment). Jika penguatan ditambah (positive reinforcement),respon yang diharapkan akan semakin kuat. Jika penguatan dikurangi/dihilangkan(negative/reinforcement),respon akan semakin kuat. Jika hukuman diberikan,respon yang diharapkan akan semakin kuat dan respon yang tidak diharapkan akan semakin menghilang. Tokoh penting dalam teori belajar behaviorisme secara teoritik antara lain adalah : Pavlov.Skinner,E.L.Thorndke,dan E.R.Guthrie.
1.      Pavlov
Ivan Pavlov terkenal dengan teori kondisioning klasik(classical conditioning),yait sejenis pembelajaran dimana sebuah organisme belajar untuk menghubungkan atau mengasosiasikan stimulus dengan respon. Dalam pengkondisian klasik,sebuah stimulus netral (contoh:bel) menjadi diasosiasikan dengan stimulus yang mempunyai makna(contoh:makana) dan mendatangkan kepastian untuk mendatangkan respon yang sama. Untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami bahwa ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah stimulus yang tdak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS),yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apa pun (contoh:makanan) dan stimulus terkondisi (conditioned stimimulus-CS), yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat netral,akhirnya mendatangakan sebuah respon yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi(contoh:suara bel sebelum makan dating).
Dua respon tersebut adalah respon yang tidak terkondisi (unconditioned respon-UCS), yaitu sebuah respon yang tidak terkondisi (contoh:keluarnya air liur anjing setelah melihat makanan) dan respon bterkondisi(conditioned respon-CR), yaitu sebuah respon yang dipelajari terhadap stimulus yang terkondisi yang terjadi setelah terkondidi dipasangkan dengan stimulus terkondisi(contoh:keluarnya air liur anjing setelah melihat makanan yang bersama dengan suara bel).
Generalisasi,Deskriminasi,dan Pembelajaran
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
Generalisasi. Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara  yang mirirp dengan bel, contoh suara peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi,generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika mempersiapkan ujian Fisika, peserta didik tersbut akan merasakan gugup karena kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan peserta didik tersebut hasil generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada mata pelajaran lain yang mirip.
            Deskriminasi. Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, pesrta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian bahasa Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.
            Pelemahan (extincition). proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur. Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat peserta didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah mendapat nilai ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk mengembangkan sikap yang menguntungkan terhadap pesrta didik untuk termotivasi belajar dan membantu guru untuk melatih kebiasaan positif pesrta didik.
2.  Skinner
            B.F.Skinner terkenal dengan teori pengkondisia operan (operant conditioning) atau juga disebut pengkondisian instrumental (instrumental conditioning), yaitu suatu bentuk pembelajaran dimana konsekuensi perilaku menghasilkan berbagai kemungkinan terjadinya perilaku tersebut. Penggunaan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku itulah yang disebut dengan pengkondisian operan.
            Prinsip teori Skinner ini adalah hukum akibat, penguatan atau penghargaan,dan konsekuensi. Prinsip hukum akibat menjelaskan bahwa perilaku yang diikuti hasil positif akan diperkuat dan perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah. Penguatan merupakan suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya suatu perilaku. Konsekuensi adalah suatu kondisi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi setelah perilaku dan memengaruhi frekuensi prilaku pada waktu yang akan dating. Konsekuensi yang menyenangkan disebut tindakan penguatan dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.
a.      Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negative.

Ø  Penguatan positif (positive reninforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh stimulus menyenangkan. Contoh, peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga mendapat rangking satu akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin belajar sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus menyenangkan adalah pemberian sepeda.
Ø  Penguatan negatif (negatve reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti dengan suatu stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, pesreta didik sering bertanya dan guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati guru sehingga peserta didik akan sering bertanta. Jadi, perilaku yang ingin di ulangi atau ditingkatkan adlah sering bertanya dan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik tidak malu dan akan sering bertanya karena guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
b.      Hukuman
Hukuman (punishmen) yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu perilaku. Jadi, perilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang berperilaku mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin dihilangkan adalah perilaku mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak menyenangkan atau hukuman).
            Perbedaan antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada perilaku yang ditimbulkan. Pada penguatan negatif, menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (kritik) untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman, pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan perilaku yang tidak diharapkan (perilaku mencontek).
2.3  Jadwal Pemberian Penguatan
   1) Continuos Reinforcement
            Penguatan diberikan secara terus menerus setiap pemunculan respon atau perilaku yang diharapkan. Contoh, setiap anak mau mengerjakan PR (meskipun banyak yang salah), orang tua selalu menghilangkan kritikan (menghilangkan stimulus tidak menyenangkan/memberikan penguat negatif). Setiap anak mau membantu memakai sepatu sendiri ketika akan berangkat sekolah, orang tua selalu memuji (memberikan stimulus yang menyenangkan/penguat positif).
  2)  Partial Reinfocement
            Penguatan diberikan dengan menggunakan jadwal tertentu.
Jadwal Rasio Tetap (Fixed interval Schedule – FI), yaitu pemberian penguatan berdasarkan frekuensi atau jumlah respon/tingkah laku tertentu secara tetap. Contoh: Guru TK berkata, “Jika kalian sudah selesei mengerjakan 10 saol, kalian mendapat hadiah permen.” Tanpa peduli jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut. Siswa mampu menyelesaikan 10 soal (jumlah perilaku yang diharapkan) dan mendapat hadiah permen (merupakan satu penguatan). Dalam pembelajaran, pelaksanaan penguatan ini dapat ditingkatkan jumlah perilakunya secara bertahap, misalnya meningkat mulai 5 soal dapat dikerjakan mendapat satu penguatan (FR-5), meningkat menjadi 10 soal mampu dikerjakan satu penguatan (FR-10), dan seterusnya. Akhirnya, pesrta didik diharapkan mampu mengerjakan banyak soal dengan satu penguatan atau bahkan tanpa adanya  penguatan.
Jadwal Internal Tetap (Fixed Interval Schedule-FI), penberian penguatan berdasarkan jumlah waktu tertentu secara tetap. Dalam, FI jumlah waktunya yang tetap. Contoh ini sangat cocok digunakan seorang ibu untuk melatih anak kecilnya agar mengurangi kebiasaan makan atau minum susu berlebihan. Ibu berkata pada susternya, “Si Badu hanya diberikan susu setiap 1 jam sekali”. Jadi, meskipun Si Bedu menangis, karena belum 1 jam, suster tidak boleh memberikan susu. Minum susu setiap 1 jam (perilaku yang diharapkan) dan pemberian susu oleh suster (penguatan yang diberikan). Jumlah waktu bisa ditingkatkan nenjadi setiap 2 jam (FI-2), 3 jam (FI-3) sampai akhirnya menjadi 4 sekali (FI-4).

Jadwal Rasio Variabel ( Variable Ratio Schedule – VR), pemberian  penguatan berdasarkan perilaku, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Jadi, penguatan tetap diberikan untuk perilaku yang diharapkan, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Contoh paling tepat adalah permainan anak-anak dengan cara memasukkan koin ke mesin untuk mendapatkan hidak tahu pada perilakuadiah. Anak tersebut tidak tahu pada perilaku memasukkan koin yang ke berapa kali, baru memperoleh hadiah.
Contoh dalam pembelajaran adalah guru akan memberi nilai tambahan setiap peserta didik (dari 40 peserta didik di kelas) yang menjawab benar. Peserta didik akan mencoba untuk menjawab belum tentu benar berkalli-kali- VR ) dan tambahan nilai (penguat VR).

Jadwal Interval Variabel (Variabel Interval Schedule – VI), pemberian penguatan pada  suatu perilaku, tetapi jumlah waktunya tidak tetap yaitu tidak dapat ditentukan kapan waktunya tidak tetap. Jika dalam VR, jumlah perilakunya tetap. Dalam VI, jumlah waktunya tidak tetap. Contoh, guru secara acak melakukan pemeriksaan secara keliling di kelas terhadap pekerjaan peserta didik yang menjawab benar dan guru memneri pujian setiap menemukan jawaban benar peserta didik. Peserta didik tidak tahu kapan guru menghampiri dan melihat pekerjaannya serta memujinya jika jawabannya benar. Karena peserta didik tidak tahu kapan gurunyamenghampiri, peserta didik tersebut selalu berusaha mengerjakan dengan benar setiap saat. Peserta didik mengerjakan benarsetiap saat (perilaku-VI) dan guru yang sempat menghampiri dan memberi pujian pada waktu yang tidak tetap (penguatan-VI).
1)      Keefektifan Hukuman
Hukuman hendaknya diberikan untuk perilaku yang sesuai. Terkadang hukuman diberikan terlalu berat, terlalu ringan, bahkan bentuk hukuman yang  tidak ada kaitan dengan pperilaku yang ingin dihilangkan. Contoh: peserta didik yang tidak mengerjakan PR harus keliling lapangan 10 X (hukuman tidak sesuai), mungkin hukuman yang cocok, peserta didik diberikan PR yang lebih banyak daripada temannya, dan lain-lain.
3.      Thondike
Teori belajar Thondike di kenal dengan istilah koneksionisme (connectionism). Teori ini memandang bahwa  yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi atau menghubungkan antara kesan indera (stimulus) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (respon), yang di sebut dengan connecting. Dalam teori ini juga di kenal istilah selecting, yaitu stimulus yang beraneka ragam di lingkungan melalui proses mencoba-coba dan gagal (trial &error). Setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan tindakan yang sifatnya coba-coba. Jika dalam mencoba itu secara kebetulan ada tindakan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, tindakan yang kebetulan cocok itu akan “di pegang”. Karena latihan yang terus menerus, waktu yang digunakan untuk coba-coba itu semakin lama semakin efisien. Dalem teori ini, proses tersebut terjadi secara mekanistik, tanpa penalaran, tidak melihat situasi keseluruhan, dan terjadinya secara bertahap.
Percobaan Thorndike adalah sebagai berikut. Seekor kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kandang tertutup yang ada pintunya, tetapi pintu tersebut di beri pedal, apabila pedal di injak, pintu terbuka. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan (daging). Apa reaksi kucing/ Mula-mula kucing bergerak ke sana ke mari ml pintu mencoba-coba hendak keluar dari kandang. Lama kelamaan pada suatu ketika secara kebetulan terinjak pedal pintu oleh salah satu kakinya. Pintu kandang terbuka dan kucing keluarlah menuju makanan.
Percobaan di ulangi lagi. Tingkah laku itu meskipun sama seperti pada percobaan pertama, hanya waktu yang dibutuhkan untuk bergerak ke sana ke mari lebih singkat. Setalah diadakan percobaan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak perlu lagi kesana kemari, tetapi langsung menginjak pedal pintu dan terus keluar menuju makanan. Dalam teori koneksionisme, di kenal dengan hukum-hukum Thorndike, yaitu hukum akibat (low of effect), hukum kesiapan(law of readiness), dan hukum latihan (law of exercise)
a.      Hukum Akibat (Low of Effect)
Suati tindakan atau tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang menyenangkan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diulangi, di ingat, dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Suatu tindakan/tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan (tidak cocok dengan tuntutan situasi) akan dihilangkan atau dilupakan. Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Contoh: Jika dapat membuat lampion dengan rapi, peserta didik merasa sangat puas karenamendapat pujian. Tindakan tersebut akan diulangi, di ingat, dan depelajari dengan sebaik-baiknya bahkan berusaha menjadi lebih baik lagi.


b.      Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Kesiapan untuk bereaksi terhadapsuatu stimilus yang di hadapi sehingga reaksi tersebut menjadi memuaskan. Pernyataan tersebut dapa dijabarkan sebagai berikut:
Ø  Jika individu siap melakukan tindakan, melakukan tindakan itu akan menimbulkan kepuasan. Contoh: Peserta didik yang merasa sangat siap menghadapi ulangan dengan belajar keras, mengikuti ulangan merupakan suatu tindakan yang menyenangkan karena dapat mengerjakan dengan benar.
Ø  Individu siap melakukan tindakan, tidak melakukan tindakan akan menimbulakan kesalahan. Contoh: Peserta didik yang merasa sangat siap menghadapi ulangan dengan belajar keras, maka tidak mengikuti ulangan dengan belajar keras, maka tidak mengikuti ulangan karena ulangan dibatalkan akan menimbulkan rasa tidak puas, mungkin jengkel karena usahanya percuma.
Ø  Jika individu tidak siap melakukan tindakan, maka melakukan tindakan akan menimbulkan kekesalan. Contoh: Peserta didik tidak siap (tidak belajar) untuk menghadapi ulangan yang mendadak , maka tindakan mengikuti ulangan akan menimbulkan kekesalan (merasa tidak menyenangkan-khawatir nilai jelek).   
Jadi dalam melakukan suatu perbuatan (belajar), sering akan di capai hasil yang memuaskan apabila individu siap menerima dan melakukan sesuatu dengan tidak ada hambatan.
c.       Hukum Latihan (Law of Exercise)
                 Prinsip dalam latihan ini adalah tingkat frekuensi untuk mempraktikkan (seiringnya menggunakan hubungan stimulus-respon), sehingga hubungan tersebut semakin kuat. Praktik tersebut lebih efektif jika disertai reward. Hukum ini mengenai istilah law of use dan low of disuse.
Ø  Makin sering hubungan antara stimulus & respon dilakukan maka akan makin kuat koneksinya (law of use). Contoh: Guru melempar bola akan peserta didik harus menangkapnya bola (respon). Jika sering dipraktikan, hubungan stimulus-respon semakin kuat,  yang akhirnya peserta didik menjadi terampil menangkap bola.
Ø  Jika hubungan antara stimulus & respon dihentikan untuk periode tertentu, koneksinya akan melemah (law of dis-use). Contoh: Keterampilan peserta didik menangkap bola itu terjadi karena latihan. Jika latihan menangkap bola dihentikan dalam jangka waktu yang relative lama (tidak di latih), lama kelamaan keterampilan menangkap bola menjadi berkurang atau bahkan hilang (hubungan S-R melemah).
Tanpa informasi atau umpan balik yang memberi “reward” hanya terjadi perubahan kecil dalam distribusi respons.
4.      E.RGuthrie
                 Menurur Guthrie,tingkah laku manusia itu secara keseluruhan merupakan rangkaian tingkah laku yang terjadi atas unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan respon-respon dari stimulus sebelumnya dan kemudian unit respon tersebut menjadi stimulus yang kemudian akan menimbulkan respon bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikian seterusnya sehingga merupakan deretan tingkah laku yang terus menerus. Jadi proses terbentuknya rangkaian tingkah laku tersebut terjadi dengan kondisioning melalui proses asosiasi antara nit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku lainya menjadi semakin kuat. Prinsip belajar pembentukan tingkah laku ini disebut law association.
                 Menurut Guthrie,untuk memperbaiki tingkah laku yang jelek harus dilihat dari rentetan unit-unit tingkah lakunya,kemudian diusahakan untuk menghilangkan atau mengganti unit tingkah laku yang tidak baik dengan tingkah laku yang seharusnya.
Tiga metode mengubah tinhkah laku menurut tingkah laku ini,yaitu:
       I.            Metode respon bertentangan
    II.            Metode membosankan
 III.            Metode mengubah lingkungan
2.3 Aplikasi Teori Belajar Behaviorisme dalam Pembelajaran
                 Untuk mengaitkan teori behaviorisme dengan praktik pembelajaran,perlu dipahami terlebih dulu,mengenai prinsip belajar menerut behaviorisme. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Teori ini beranggapan bahwa yabg dimaksud dengan belajar adalah perubahan tingkah laku.seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukan perubahan tingkah laku tertentu. Perubahan perilaku itu bias negative atau positif bergantung apa yang ingin dipelajari.
2.      Hasil belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati,yang terjadi karena hubungan stimulus dan respon,sedangkan proses yang terjadi antara stimulus respon,yang tidak dapat diamati itu tidak penting.
3.      Perlunya Reinforcement untul memunculkan perilaku yang diharapkan. Respons akan semakin kuat jikareinforcement(baik positif maupun negative) ditambah.
                 Penekanan proses belajar menurut teori behaviorisme ini adalah hubungan stimulus dan respon. Dengan demikian,agar pembelajaran dikelas menjadi efektif,hendakya guru perlu memperhatikan  hal-hal berikut:
a.       Guru hendaknya memilih jenis stimulus yang tepat untuk diberikan kepada peserta didik agar peserta dapat memberikan respon yang diharapkan.
b.      Guru hendaknya menentukan jenis respon yang harus dimunculkan oleh peserta didik. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukan peserta didik benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan,guru harus mampu menetapkan bahwa respons itu dapat diamati dan diukur.
c.       Guru perlu memberikan reward yang tepat untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan muncul dari peserta didiknya.
d.      Guru hendaknya segera memberikan umpan balik secara langsung,sehingga sipelajar dapat mengetahui apakah respons yang diberikan telah benar tau belum.
Meningkatkan Perilaku yang Diinginkan
                 Enam strategi pengkondisian operan dapat dignakan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan,yaitu :memilih penguat yang efektif,membuat penguat yang bergantung dan tepat waktu,memilih jadwal terbaikuntuk penguatan,mempertimbangkan membuat perjanjian kontrak,menggunakan penguatan negative secara efektif,dan menggunakan arahan seta pembentukan

1.      Memilih Penguat yang Efektif
Guru harus mampu menemukan penguat mana yang berhasil dengan paling baik untuk setiap peserta didiknya, yaitu membedakan setiap individu dalam menggunakan penguat tertentu. Satu jenis penguat tertentu untuk peserta didik A belum tentu cocok untuk peserta didik B. contoh: peserta didik A cocok dengan penguat pujian,peserta didikC cocok dengan aktivitas dengan diberikan aktivitas tertentu yang disukai, dan lain-lain. Untuk mengetahui penguat mana yang disukai dapat ditanyakan langsung kepada peserta didik tentang penguat mana yang paling disukai atau dengan memeriksa sejarah penguatan dari guru lain.
2.      Membuat penguat menjadi bergantung pada tepat dan waktu.
Agar penguat efektif, guru harus memberikan penguat secara tepat waktu dan segera mungkin setelah anak menampilkan perilaku tertentu yang diharapkan.
3.      Pilih jadwal terbaik untuk penguatan
Guru harus memilih jadwal penguatan terbaik sesuai dengan tuntutan perilaku peserta didik yang diharapkan guru. Pilihan jadwal tersebut adalah; jadwal rasio tetap, jadwal rasio variabel, jadwal interval tetap, dan jadwal interval variabel, dan ke empat jenis jadwal penguatan sudah diuraikan sebelumnya.
4.      Pertimbangan untuk Membuat Kontrak
Analisis perilaku terapan menyarankan bahwa kontrak kelas seharusnya merupakan hasil masukan dari guru maupun peserta didik. Pembuatan kontrak melibatkan pembuatan ketergantungan penguatan secara tertulis. Jika masalah timbul, dan peserta didik ingkar janji, guru dapat menunjukkan kontrak yang telah mereka setujui.
5.      Gunakan Pnguatan Negatif secara efektif
Penguatan negative, meningkatkan frekuensi respon dengan menghilangkan stimulus yang tidak disukai. Contoh: stimulus guru yang sering mengkritik atau tidak menghargai jawaban serta pertanyaan peserta didik  harus dihilangkan agar frekuensi bertanya dan frekuensi berani menjawab semakin meningkat.

6.      Gunakan Arahan dan Pembentukan
Arahan merupakan stimulus yang ditambahkan atau isyarat yang diberikan tepat sebelum terjadinya kemungkinan peningkatan respon yang diinginkan. Arahan membantu perilaku terjadi. Setelah peserta didik secara konsisten memperlihatkan respon yang benar, arahan tidak lagi dibutuhkan. Jika arahan belum mampu membuat peserta didik menampilkan perilaku yang diharapkan, guru perlu membantu dengan pembentukan. Pembentukan (shaping) melibatkan pembelajaran perilaku baru dengan memperkuat perkiraan secara berturut-turut terhadap suatu perilaku sasaran.
Mengurangi Perilaku yang Tidak Diinginkan
            Ada beberapa langkah yang dapat digunaka guru untuk mengurangi perilaku anak yang tidak diinginkan, seperti: menganggu teman, memonopoli diskusi kelas, bersikap sok tau pada guru (Alberto & Troutman dalam Santrouck)
1.      Gunakan Penguatan Deferensial
Dalam penguatan deferensial, guru memperkuat perilaku yang lebih pantas atau perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan anak tersebut. Contoh: guru dapat memperkuat pesrta didik untuk melakukan aktivitas pembelajaran dengan memanfaatkan komputer dari pada komputer hanya dipakai untuk memainkan game.
2.      Hentikan Penguatan (Extinction)
Tanpa disengaja guru memberikan penguatan positif yang justru membuat perilaku pesrta didik yang tidak diharapkan semakin terpelihara. Dengan demikian,guru harus segera menghentikan penguatan positif tersbut agar perilaku yang tidak diharapkan menurun atau hilang dan guru memberikan penguatan positif lagi setelah perilaku yang diharapkan muncul. Contoh, guru selalu memberi perhatian pada pesrta didik yang selalu bertanya dan menjawab dalam acara diskusi kelompok, akhirnya ada pesrta didik yang tanpa sadar mendominasi peserta didik lain hanya untuk mengejar pujian atau nilai. Dalam kasus ini, guru segera menghentikan penguatan dengan cara meminta pesrta didik tersebut agar memberi kesempatan pada teman lain yang belum aktif.

3.      Hilangkan Stimulus yang Diinginkan
Jika menghentikan pemberian penguatan tetap tidak berhasil meningkatkan respon diharapkan, penghilangan stimulus yang diinginkan harus dilakukan oleh guru, dengan cara time out dan respon cost. Time out adalah penghentian penguatan positif terhadap seseorang untuk sementara yaitu hamper sama dengan penghentian penguatan, yang berbeda adalah waktu penghentian penguatan positif lebih lama sampai terbentuk lagi perilaku yang diingikan.
Biaya respon (respon cost) adalah menjauhkan atau menganbil penguatan-penguatan positif dari seseorang, seperti peserta didik kehilangan hak istimewa tertentu, guru dapat menghilangkan waktu 10 menit istirahatnya atau menghilangkan haknya untuk menjadi pemantau kelas.
4.      Hadirkan Stimulus yang Tidak Disukai (Hukuman)
Jenis stimulus yang tidak disukai dan paling umum digunakan guru adalah teguran verbal serta disertai dengan kerutan dahi atau kontak mata. Tindakan ini lebih efektif digunakan ketika guru berada dekat dengan peserta didik. Teeguran tidak harus disertai bentakan atau teriakan, yang seringkali hanya menaikkan tingkat kegaduhan dikelas dan menjadikan guru sebagai model yang tidak terkendali bagi peserta didik.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas kiranya dapat di simpulkan bahwa Teori Belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Tokoh penting dalam teori belajar behaviorisme secara teoritik antara lain adalah : Pavlov.Skinner,E.L.Thorndke,dan E.R.Guthrie.
Adapun Aplikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran yaitu meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangu perilaku perilaku yang tidak diinginkan. Metode behavioristik ini sesuai untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan juga sesuai diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa.
B. Saran
Dari makalah ini pemakalah memberi  saran kepada pembaca, sebagai calon guru hendaknya kita  untuk menginstroveksi diri terhadap tingkah laku orang lain ataun peserta didik agar menjadi pembelajaran bagi kita untuk menjadi lebih baik.